Sunday, September 30, 2007

SIAPA KORBAN SIAPA

Jika kutanya “Kenapa kamu melakukan pembelaan terhadap Orangutan..? Sering kudapat jawaban “Karena binatang, termasuk Orangutan, adalah binatang yang perlu hidup tetapi mereka selalu dalam posisi kalah dan tidak mampu melakukan pembelaan terhadap diri sendiri. Maka kami melakukan pembelaan terhadap nasibnya dari keterancaman akibat ulah manusia”. Sebagian lagi menjawab secara normative dan menggunakan argument hukum “Karena Orangutan merupakan binatang yang dilindungi”.

Jika ditanya lebih jauh, siapa manusia yang dimaksud ? Sering dijawab secara asal “Ya mereka yang melakukan pengrusakan terhadap habitat Orangutan”.

Sering hal ini tidak tuntas dibahas. Kalau yang dimaksud ”Manusia” yang merusak itu adalah masyarakat yang tinggal di pinggir hutan, apakah bener seperti itu. Apakah mereka secara sengaja merusak hidup dan kehidupan Orangutan? Bukannya saat masyarakat melakukan penebangan kawasan hutan itu karena terpaksa dan merupakan upaya untuk bertahan hidup karena ladang mereka telah diambil alih oleh perusahaan perkebunan yang telah mendapat ijin dari pemerintah...!!

Jika demikian adanya, siapa yang menjadi korban? Siapa menjadi korban siapa?

Bukannya masyarakat yang tinggal dipinggir hutan juga korban sama seperti nasib Orangutan akhirnya juga menjadi koraban. Lebih seru lagi, ternyata sering sesama korban sering saling serang. Masyarakat masuk wilayah habitat orangutan, dan orangutan juga sering masuk wilayah perladangan masyarakat. ....KONFLIK.....

Jadi siapa sebenarnya korban dan siapa yang menjadi aktor utama sehingga berjatuhan korban...?

Memang ada beberapa kasus seperti yang terjadi di Blok Hutan Batang Toru, dimana ada sejumlah etnis pendatang yang melakukan pembukaan kawasan hutan berhektar-hektar tanpa ada upaya pencegahan dari pihak pemerintah. Bahkan seolah dan terkesan ada upaya pembiaran. Artinya kerusakan kawasan hutan yang menjadi habitat Orangutan ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika dari awal pihak pemerintah sudah melakukan tindakan tegas untuk melakukan pelarangan terhadap pembukaan kawasan hutan tersebut.

Sekali lagi ”Siapa Korban dan siapa yang menjadi aktor utama sehingga berjatuhan korban...?
(Foto Orangutan - David Batangtoru)
PEMBALAKAN

Pembalakan merupakan baik yang dapat restu atau izin dari pemerintah atau tidak telah terbukti memiliki dampak yang sama, yaitu rusaknya tatanan ekosistem di alam ini. Tiga foto diatas di jepret tanggal 26 September 2007. Foto pertaman diambil di wilayah Tapsel, yang kedua daerah sekitar danau Toba dan yang ketiga foto Danau Toba.

Jika tidak ada penanganan serius, kondisi ini jelas akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi dan jika terjadi di sekitar danau Toba sudah pastim akan mempengaruhi debit air di Danau Toba.

Untuk wilayah Tapsel, spot-spot pembalakan tanpa izin sungguh banyak (foto diatas hanya salah satu spot). Kebanyakan dilakukan oleh etnis Nias yang datang ke wilayah Tapanuli Selatan dan Ta[panuli Tengah. Secara umum mereka banyak tersebar di sekitar wilayah Blok Hutan Batang Toru. Kehadiran mereka (etnis Nias) yang melakukan pembalakan di Hutan Batang Toru ternyata hampir tak tersentuh oleh hukum. Setelah digali informasi lebih jauh, ternyata mereka ini sering digunakan oleh para politisi, terutama saat musim pilkada atau Pemilu. Jadi karena konspirasi politik inilah maka keberadaan mereka menjadi semakin tak tersentuh, karena yang akhirnya membuat perkampungan di tengah hutan oelh pemerintah diakuai keberadaannya yang ditandai dengan dikeluiarkannya KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Sebagai tambahan, saat ini di wilayah Batang Toru sudah ada perusahaan tambang emas (PT AGINCOURT) yang saat ini sudah pada tahap eksplorasi tahap akhir. Kadang ada pertanyaan menggelitik, jangan-jangan keberadaan etnis Nias yang sedang melakukan pembukaan kebun ini sengaja dan ada yang men-design.

Pertanyaan ini muncul karena dalam laporan Baseline Terrestrial Ecology Survey of The Martabe Project Area, North Sumatra, Indonesia, dalam salah satu kesimpulan dikatakan "Kehadiran tambanga akan merusak ekosistem, tetapi tanpa kehadiran tambang ekosistem juga akan tetap rusak.......".

Nah item kesimpulan ini yang sering menggelitik dan menimbulkan pertanyaan selalu.....

Friday, June 8, 2007

Leuseur: The Last Heaven

Hari ini, di Tapak Tuan, Aceh, semua perwakilan masyarakat lokal Tapak Tuan berkumpul menghadiri upacara adat yang menjadi puncak dari prosesi penandatanganan sebuah deklarasi ihwal pengelolaan dan penjagaan bersama wilayah gunung Leuseur yang menjadi cikal dari berdirinya Taman Nasional Gunung Leuseur.
Tak hanya ditandatangani semua perwakilan masyarkat adat di kawasan Tapak Tuan, deklarasi juga ditandatangani Gubernur Hindia Belanda saat itu, Bonifacius Cornelis de Jonge. Deklarasi itu kelak masyhur dengan sebutan “Deklarasi Tapak Tuan”.
Deklarasi Tapak Tuan merupakan tindak lanjut dari dikirimkannya semacam “proposal” masyarakat Tapak Tuan kepada pemerintah Hindia Belanda agar bersedia memberikan status perlindungan terhadap kawasan hutan adat gunung Leuseur, yang terbentang dari Singkil di bagian selatan hingga Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara Aceh.

Melihat luas, besar dan kandungan flora dan faunanya, Leuseur berpeluang menjadi surga Tropis Terakhir”. Dan potensi itu bukan tanpa alas dasar kultural. Dalam bahasa Gayo, satu dari tujuh suku asli kawasan itu, kata “Leuseur” berarti “Jembatan yang menghubungkan surga dan dunia” atau “representasi surga di muka bumi”.

“Proposal” itu sendiri merupakan respons masyarakat adat Tapak Tuan atas rencana pemerintah Hindia Belanda yang akan membangun proyek eksplorasi minyak dan mineral. Masyarakat Tapak Tuan, yang diwakili para ulebalang, kemudian membahas dan berunding mengenai persoalan tersebut dengan FC van Heurn, seorang biolog Belanda.

Hasilnya memang di luar dugaan. Van Heurn akhirnya juga bersetuju dengan “proposal” masyarakat Tapak Tuan. Dalam bayangan van Heurn, jika proposal itu diterima, gunung Leuseur akan menjadi pusat konservasi flora dan fauna yang akan signifikan peranannya dalam melindungi sejumlah spesies langka.Kawasan gunung Leuseur akhirnya secara resmi menjadi Suaka Alam pada tahun yang sama ketika Deklarasi Tapak Tuan itu ditandatangi, persisnya setelah A. Ph. van Ahen ditunjuk sebagai Gubernur Aceh. Pada bagian pertama peresmian kawasan Leuseur sebagai Suaka Alam, Leuseur ditetapkan sebagai wildceservaat Goenoeng Loeser dengan luas 142.800 hektar.

Kini, Leuseur telah berstatus sebagai Taman Nasional dengan luas sekira 2,5 juta hektar. Leuseur menjadi tempat berlindung sejumlah spesies langka dunia, dari spesies mamalia besar (badak, gajah, harimau, beruang dan orang utan), hingga spesies endemik Leuseur seperti serundung (Hylobates lar), rungka (Presbytis thomasi), linsang (Prionodon linsang), macan akar (Felis termmincki), enggang (Rhyteceros spp), dan burung kuda (Garullax rufifrons).

Melihat luas, besar dan kandungan flora dan faunanya, Leuseur berpeluang menjadi “Surga Tropis Terakhir”. Dan potensi itu bukan tanpa alas dasar kultural. Dalam bahasa Gayo, satu dari tujuh suku asli kawasan itu, kata “Leuseur” berarti “Jembatan yang menghubungkan surga dan dunia” atau “representasi surga di muka bumi”. Hal itu akan terealisir, tentu saja, jika Leuseur dijaga dan dirawat secara maksimal, tanpa pandang bulu.

Riwayat perjuangan masyarakat Tapak Tuan untuk menyelamatkan kawasan Leusuer yang menjadi tempat tinggal mereka dari eksplorasi kolonial, menunjukkan dengan baik bagaimana masyarakat lokal punya kesadaran ekologis yang terstruktur, yang dibentuk oleh helai-helai korpus pengetahuan yang terwariskan secara turun-temurun. Para antropolog menyebutnya sebagai “indigenous knowledge”, kita akrab menyebutnya “kearifan lokal”.

Berdasar kesadaran ekologis yang dibentuk oleh kearifan lokal itulah Deklarasi Tapak Tuan lahir. Mestikah diherankan jika hampir 70 tahun kemudian, persisnya di tahun 2002-2003, mereka pulalah yang dengan terang menolak proyek jalan Ladia Galaska yang akan membelah Leuseur menjadi dua bagian?Jika hutan-hutan Indonesia, baik yang masih belantara maupun yang bukan, berhasil dijaga dan dilindungi kelangsungannya, Indonesia punya peluang sebagai negeri dengan rangkaian warna hijau terbesar di muka bumi. Dan dengan itu, tak cuma Leuseur, Indonesia bisa menjadi “The Last Heaven in the Earth”.=Taufik Rahzen=

Wednesday, June 6, 2007

Mawas, Kelana Pohon dari Sumatera

Kompas_Kamis, 13 Desember 2001
BOBOTNYA boleh saja mencapai 90 kilogram, tetapi di atas pohon dia jagonya. Mawas alias orangutan sumatera, memang benar-benar hidup di atas pohon di hutan hujan tropis. Mereka jarang sekali turun ke tanah, dan berkelana dari satu pohon ke pohon lain dengan memanjat dan melompat. Lengannya yang panjang dan kuat, membantu berayun dari satu cabang ke cabang lain.

Mawas sebenarnya tergolong hewan soliter dan punya jangkauan tempat tinggal yang amat luas. Hobi berkelana mereka, menyebabkan mereka sering membuat sarang baru setiap malam. Namun, khusus di Taman Nasional Gunung Leuser, mereka sering terlihat bersama-sama dalam satu kelompok di kawasan yang pohon-pohonnya tengah berbuah.

Para ahli taksonomi percaya, orangutan di Sumatera (Pongo abelii) berbeda dengan saudaranya di Kalimantan (Pongo pygmaeus). Itu sebabnya mereka mengelompokkan kedua bersaudara ini ke dalam dua spesies yang berbeda.

Satu-satunya jenis kera besar di Asia-jenis lainnya ada di Afrika seperti simpanse dan gorila-sang orangutan ini sebenarnya punya perilaku yang mirip manusia. Selain monogami (setia pada pasangan sampai mati) orangutan betina biasanya dewasa pada usia 11-15 tahun sedang yang jantan sedikit lebih lama.

Dengan usia yang bisa mencapai 40 tahun, orangutan biasanya melahirkan seekor anak, jarang sekali kembar, setelah hamil selama kurang lebih sembilan bulan. Anak orangutan biasanya baru disapih setelah kurang lebih berumur 3,5 tahun.

***

NAMUN, sama seperti binatang-binatang liar lain di Indonesia, nasibnya sungguh merana. Deru gergaji mesin yang berlangsung setiap hari membuat hutan-hutan tempat tinggal mereka di dataran rendah dengan cepat menghilang, berganti dengan tanah pertanian dan perkebunan kelapa sawit.

Kebakaran hutan yang tak pernah ditanggulangi dengan baik adalah ancaman hidup lain bagi orangutan. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), sekitar dua juta hektar lahan terbakar tahun 1997 di Indonesia. Tahun itu, dari 160 perusahaan yang dituduh membuka hutan dengan membakar, hanya 46 yang disidik penuh. Bisa jadi, ratusan orangutan mati gara-gara kebakaran ini, sedang yang melarikan diri banyak yang ditangkapi untuk diperdagangkan.

Penangkapan orangutan memang merupakan ancaman berikutnya. Diperkirakan 1.000 orangutan telah diekspor ke Taiwan sebagai binatang piaraan selama 1995-1999. Menurut para aktivis lingkungan, 5-6 ekor orangutan mati setiap kali terjadi transaksi.

Tak heran bila baik populasi orangutan sumatera maupun borneo berkurang lebih dari 90 persen sepanjang abad 20. Jumlah mereka saat ini diperkirakan kurang dari 25.000 ekor, berkurang 30-50 persen selama sepuluh tahun terakhir. Di Leuser, jumlah mawas diduga berkurang 45 persen sejak tahun 1993.

Populasi orangutan memang susah diestimasi. Struktur kelebatan dan keanekaan spesies hutan membuat survei susah dilakukan. Hasil penghitungan sarang dengan menggunakan helikopter di hutan-hutan kawasan Sabah, Malaysia, misalnya, memberikan petunjuk populasinya tinggal 9.800-21.000 ekor.

Banyak lembaga swadaya masyarakat yang mencoba menyelamatkan orangutan ini. Namun, upaya konservasi ini tidak gampang mengingat banyaknya kendala. (nes)

ORANGUTAN

(Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).

Klasifikasi Ilmiah

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Suku : Hominidae
Subsuku : Ponginae Elliot, 1912
Marga : Pongo Lacépède, 1799
Tipe Spesies : Simia pygmaeus Linnaeus, 1760
Spesies : Pongo pygmaeus, Pongo abelii

Orang utan (atau Orangutan) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan, kadang cokelat, yang hidup di Malaysia dan Indonesia.

Deskripsi :
  • Istilah orang utan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor.
  • Orang utan berukuran 1-1,4 m untuk jantan, yaitu kira-kira 2/3 kali ukuran seekor gorila.
    Tubuh orang utan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi.
  • Orang utan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba.
  • Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari-jari panjang ditambah 1 ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia.

Tuesday, June 5, 2007

BATANG TORU


Wilayah (Ekosistem) Batang Toru posisinya berada di 3 wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan – Tapanuli Tengah – Tapanuli Utara

Status Lahan Hutan Batang Toru :

Secara garis besar, selain masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan dan masyarakat yang jauh dari hutan (daerah hilir), para pihak yang melakukan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ekosistem Batang Toru antara lain :

  • PT Teluk Nauli - HPH
  • PLN (Sibolga) - PLTA Sipansihaporas
  • PDAM - Sumber Air Baku
  • MEDCO - Geothermal
  • NEWMON Horas Nauli - Tambang Emas

DAS yang berasal dari hutan Batang Toru :


Tujuh DAS (garis biru tebal) yang berasal dari Hutan Batang Toru :
1. Aek Raisan
2. Batang Toru Ulu
3. Batang Toru Ilir
4. Aek Garoga
5. Aek Tapus
6. Sungai Pandan
7. Sipansihaporas