Melihat luas, besar dan kandungan flora dan faunanya, Leuseur berpeluang menjadi surga Tropis Terakhir”. Dan potensi itu bukan tanpa alas dasar kultural. Dalam bahasa Gayo, satu dari tujuh suku asli kawasan itu, kata “Leuseur” berarti “Jembatan yang menghubungkan surga dan dunia” atau “representasi surga di muka bumi”.
Hasilnya memang di luar dugaan. Van Heurn akhirnya juga bersetuju dengan “proposal” masyarakat Tapak Tuan. Dalam bayangan van Heurn, jika proposal itu diterima, gunung Leuseur akan menjadi pusat konservasi flora dan fauna yang akan signifikan peranannya dalam melindungi sejumlah spesies langka.Kawasan gunung Leuseur akhirnya secara resmi menjadi Suaka Alam pada tahun yang sama ketika Deklarasi Tapak Tuan itu ditandatangi, persisnya setelah A. Ph. van Ahen ditunjuk sebagai Gubernur Aceh. Pada bagian pertama peresmian kawasan Leuseur sebagai Suaka Alam, Leuseur ditetapkan sebagai wildceservaat Goenoeng Loeser dengan luas 142.800 hektar.
Kini, Leuseur telah berstatus sebagai Taman Nasional dengan luas sekira 2,5 juta hektar. Leuseur menjadi tempat berlindung sejumlah spesies langka dunia, dari spesies mamalia besar (badak, gajah, harimau, beruang dan orang utan), hingga spesies endemik Leuseur seperti serundung (Hylobates lar), rungka (Presbytis thomasi), linsang (Prionodon linsang), macan akar (Felis termmincki), enggang (Rhyteceros spp), dan burung kuda (Garullax rufifrons).
Melihat luas, besar dan kandungan flora dan faunanya, Leuseur berpeluang menjadi “Surga Tropis Terakhir”. Dan potensi itu bukan tanpa alas dasar kultural. Dalam bahasa Gayo, satu dari tujuh suku asli kawasan itu, kata “Leuseur” berarti “Jembatan yang menghubungkan surga dan dunia” atau “representasi surga di muka bumi”. Hal itu akan terealisir, tentu saja, jika Leuseur dijaga dan dirawat secara maksimal, tanpa pandang bulu.
Riwayat perjuangan masyarakat Tapak Tuan untuk menyelamatkan kawasan Leusuer yang menjadi tempat tinggal mereka dari eksplorasi kolonial, menunjukkan dengan baik bagaimana masyarakat lokal punya kesadaran ekologis yang terstruktur, yang dibentuk oleh helai-helai korpus pengetahuan yang terwariskan secara turun-temurun. Para antropolog menyebutnya sebagai “indigenous knowledge”, kita akrab menyebutnya “kearifan lokal”.
Berdasar kesadaran ekologis yang dibentuk oleh kearifan lokal itulah Deklarasi Tapak Tuan lahir. Mestikah diherankan jika hampir 70 tahun kemudian, persisnya di tahun 2002-2003, mereka pulalah yang dengan terang menolak proyek jalan Ladia Galaska yang akan membelah Leuseur menjadi dua bagian?Jika hutan-hutan Indonesia, baik yang masih belantara maupun yang bukan, berhasil dijaga dan dilindungi kelangsungannya, Indonesia punya peluang sebagai negeri dengan rangkaian warna hijau terbesar di muka bumi. Dan dengan itu, tak cuma Leuseur, Indonesia bisa menjadi “The Last Heaven in the Earth”.=Taufik Rahzen=